My Most Unforgettable Journey: ” Kisah Pengungsi Karen di pegunungan Himalaya Timur – An Ode to Humanity”

“Every journey has it’s own story and this journey has opened my eyes, heart & soul”

Ferdy & the karens

Liburan Tanpa Rencana
Liburan ke Thailand merupakan hal yang menyenangkan bagi kami sekeluarga, dan lagi-lagi Phuket menjadi tujuan utama kami.
Tidak seperti biasanya, liburan kali ini kami cuma pengen sightseeing saja mengunakan sepeda motor.
Mulai dari muter-muter di old colonial city, mengunjungi wihara yang indah2, jalan-jalan ke pasar tradisional karena penasaran sama snack serangga goreng, hingga blusukan lewat jalan tikus di kampung-kampung.
Tanpa peta, kompas dan gps, motor kamipun terus melaju, hingga kami sampai ke sebuah perbukitan Promtep yang merupakan bagian dari deretan pegunungan Himalaya Timur.

 

Perkampungan di Tepi Hutan
Tiba-tiba mata kami tertuju pada perkampungan tradisional yang berada ditepi hutan, namun yang menarik perhatian, penduduknya memiliki postur tubuh yang aneh.

Karena penasaran, sayapun bertanya “Ruud, look at them, do you know what tribes are they”, Ruud-pun mengangkat bahunya sambil menjawab “They looks a like Burmese tribe , but I’m not sure, Let’s have a look”.

Kamipun kemudian masuk ke area perkampungan ini, melihat kami, datanglah seseorang yang kemudian menghampiri dan meminta sumbangan.
Karena pria tersebut tidak bisa berbahasa inggris kamipun menolak, kami pikir, dia pasti yang mengkomersilkan orang-orang ini…… šŸ˜¦
Dengan bahasa isyarat saya bilang “No Thai,….. We speak English”, diapun kemudian memberi isyarat untuk menunggu.

Tak berapa lama keluarlah seorang wanita separuh baya dengan busana adat yang indah, namun dengan postur tubuh yang unik, yang paling mencolok adalah bagian leher beliau ini lebih panjang dari manusia normal.
Ibu ini sangat ramah, beliaupun mempersilahkan kami masuk ke perkampungan mereka yang ternyata adalah tempat pengungsian dari beberapa suku pedalaman yang berasal dari Burma atau Myanmar. Beliaupun kemudian memperkenalkan diri sebagai Ms. Nyunt.

Tanpa sadar sayapun menyeletuk….. “You are from Myanmar….. I only know Rohingnya”, karena begitu mendengar kata Myanmar, tiba-tiba saya teringat suku rohingnya yang beritanya hampir setiap hari menghiasi layar kaca.

Ms. Nyunt cuma tersenyum dan menjawab “They also part of us”
Dari sini saya sadar bahwa ternyata banyak sekali suku minoritas Myanmar yang senasib dengan suku Rohingya.

 

Cerita Yang Bikin Merinding
Karena penasaran, sayapun bertanya kepada Ms. Nyunt, bagaimana mereka bisa berada di pegunungan tersebut.

Beliau bilang “It’s a long story, are you sure you want to hear it” spontan saya dan suami menimpali “Sure, we want to hear it”. Sementara itu si kecil Ivo asik bermain dan membuat kerajinan tangan bersama Mae, gadis Karen berusia 11 tahun.

Ivo & karen girl

Setelah menghela nafas, sambil tersenyum Ms. Nyunt memulai ceritanya, yang
kalo saya terjemahkan dalam bahasa Indonesia kira-kira begini:

Saya dari suku Padaung yang dahulu tinggal di dataran tinggi Karen.
Karen merupakan propinsi di bagian selatan Myanmar dimana sebagian besar penduduknya non Buddhist. Sebagian besar merupakan penganut animisme sementara sekitar 20% beragama kristen termasuk saya.

Sejak awal Pemerintahan Junta Militer, kami bersama suku minoritas lainnya kehilangan Identitas kami sebagai penduduk Burma sehingga kami “Stateless” atau tidak memiliki kewarganegaraan sampai saat ini.

Meski hidup di perbukitan, namun masyarakat Karen dikenal memiliki intelektualitas yang tinggi. Kamilah yang pertama kali menentang kesewenang-wenangan Junta Militer Myanmar. Kami juga memiliki organisasi massa sebagai oposisi pemerintah.

Pada perkembangannya organisasi ini menjadi organisasi lintas suku, agama dan ras dan begitu ditakuti Pemerintahan Junta Militer, sehingga mereka merasa perlu membersihkan selurus etnis Karen.

Pihak Junta Militerpun terus-menerus mempropaganda penduduknya untuk membenci Karen sebagai representasi dari suku minoritas, bahkan wilayah suku minoritas mereka sebut sebagai “Free to Fire Zone” atau Zona bebas untuk menembak atau membakar apapun dan siapapun.

Pada sekitar tahun 70-an mereka mulai mengisolasi kami dan suku-suku minoritas lainnya. Dan pada tahun 90-an, pemerintah Junta Militer mulai melakukan aksi pembersihan etnis melalui pembakaran perkampungan, pembantaian, pemerkosaan, dll.

Mereka kemudian membentuk tentara DKBA (Democratic Karen Buddhist Army) untuk melakukan tugas ini. Yang menyedihkan bagi saya, sebagian besar dari mereka adalah anak-anak berusia belasan tahun, bahkan banyak diantaranya merupakan anak-anak kami sendiri yang dari bayi mereka ambil, mereka ajarkan untuk membenci dan membunuh kami.

Sesaat Ms. Nyunt terdiam dengan mata berkaca-kaca sambil mencoba mengingat kembali. Beliaupun kemudian melanjutkan ceritanya.

 

Daylight Nightmare
Saya ingat betul saat itu sekitar bulan November 1990, mereka menyerang kampung kami pada dini hari. Mulanya mereka membakar beberapa rumah di area terendah dari perbukitan, banyak diantaranya yang berjaga-jaga disekeliling rumah disana, sementara yang lainnya bergerak naik. Mereka tidak segan untuk menembak siapapun yang mereka lihat.
Dengan membawa barang seadanya kamipun bergerak naik ke area yang lebih tinggi. Untunglah kami semua sudah mengenal daerah kami dengan baik, sehingga tidak terkejar oleh mereka. Meski begitu, karena panik, kamipun terpencar. Rombongan kami saat itu ada sekitar 37 orang, 9 diantaranya anak-anak dan balita.

Ivo & Karen Lady

Setelah beberapa hari berjalan, akhirnya kami sampai di tepi sungai Salwen. Meski terlihat tenang namun kami harus berhati-hati karena sungai ini sangat dalam. Beberapa dari kami menyusuri pinggir sungai mencari tempat yang agak landai. Sementara yang lainnya membuat tali dari dahan, akar dan rotan.

Keesokan paginya kami telah berhasil menyeberangi Sungai Salwen. Kami merasa sangat letih, kedinginan dan beberapa diantara kamipun jatuh sakit, terutama orang berusia lanjut dan anak-anak. Kamipun berunding dan memutuskan untuk tinggal di area sekitar Sungai Salwen. Kami kemudian membangun tempat perlindungan seadanya di tepi sungai.
Hal yang paling menyedihkan bagi kami adalah tak seorangpun membawa korek api.

Saat malam tiba, sayup-sayup kami mendengar keributan diseberang sungai. Kami masih kurang yakin, hingga kami melihat api unggun. Kamipun tahu bahwa tentara DKBA-lah yang berada di sana. Kami kemudian memutuskan untuk melanjutkan mendaki bukit malam itu juga. Sementara itu hujan mulai turun, jalanan sangat licin, kami kedinginan dan tak ada satupun dari kami yang familiar dengan bukit ini.

Setelah merasa aman, kamipun memutuskan untuk menetap sementara di bukit tersebut. Hari-hari selanjutnya kami jalani dengan berjalan terus ke arah yang kami sendiri tidak tahu akan berakhir dimana. Kami tak mungkin bisa kembali karena tentara DKBA sejak saat itu selalu berjaga-jaga di tepi sungai Salwen. Dalam perjalanan yang berat ini setidaknya 5 orang meninggal dunia dan terpaksa kami harus meninggalkan jasad mereka ditengah.

Beliau bercerita sambil terisak menahan duka.

 

Dari Kamp Pengungsian hingga Bukit Promtep
Kami tidak tahu berapa lama kami berjalan hingga kami sampai ke Mae Sot yang merupakan kota diperbatasan Myanmar dan Thailand. Kamipun akhirnya menetap di kamp pengungsian Mae La sekitar 5 kilometer dari Mae Sot untuk beberapa bulan. Disini kami bertemu dengan pengungsi dari berbagai suku minoritas Myanmar yang senasib dengan kami.
Kehidupan disini sangat sulit, dan kamipun mulai khawatir mengenai masa depan kami.
Karenanya kami memutuskan untuk berjalan hingga di bukit Promptep.

Mendengar kisah Ms. Nyunt yang panjang, kamipun tercengang…… “this is an Ode to Humanity” bisikku dalam hati

Masih belum puas, sayapun bertanya lagi “Do you know how many people displace from their place at this moment?”

Ms. Nyunt pun menjawab kemungkinan ada 2 atau 3 juta orang, bahkan lebih. Sebagian besar berada di Thailand.

Ms. Nyunt juga menambahkan setiap harinya masih ribuan orang yang ingin masuk ke Thailand, namun sangat sulit karena SPDC (tentara nasional junta) telah membuat jalan disepanjang perbatasan Myanmar-Thailand. Mereka juga memasang jutaan ranjau diperbukitan sekitar jalan tersebut. Mereka tak segan untuk menembak bahkan mengebom dengan roket-roket dan bazzoka, jika mereka melihat adanya permukiman atau gerombolan orang.

Sejenak Ms.Nyunt-pun berhenti untuk mengusap air matanya dan berkata “I’m Sorry” dalam sela isaknya.
Sayapun jadi ikut terisak, memahami kepedihan beliau, “Do you want to stop”, tanya saya.
Beliau menggeleng, “I want the world to know our pain”.

Berikutnya beliau menceritakan berbagai penyiksaan dan pembunuhan super sadis yang dilakukan oleh tentara-tentara junta Militer. Kisah-kisah ini tidak sanggup saya ceritakan disini, karena mengingatnyapun telah membuat kepala saya pusing. Apa yang mereka lakukan benar-benar diluar peri kemanusiaan.

Jujur saya merasa bersalah karena baru bisa menuliskan kisah ini 3 tahun setelah pertemuan saya dengan Ms. Nyunt.
Setelah lebih dari 6 dekade perang saudara dan tercatat sebagai the longest civil war in the world, saat ini PBB dan berbagai pihak sedang mengupayakan rekonsiliasi dan repatriasi Myanmar. Semoga ini membuka jalan terbaik untuk Myanmar.

Cerita ini saya persembahkan untuk Ms. Nyunt, Mae, dan seluruh suku Karen beserta suku minoritas yang tertindas di seluruh dunia.

ā€œTulisan ini diikutsertakan dalam GA Unforgettable Journey Momtravelerā€™s Taleā€

banner-GA-ku-500x134

This entry was posted in Lomba Blog and tagged , , , , . Bookmark the permalink.

40 Responses to My Most Unforgettable Journey: ” Kisah Pengungsi Karen di pegunungan Himalaya Timur – An Ode to Humanity”

  1. Ya Rabb, sungguh memedihkan nasib orang-orang seperti ini. Dan dunia banak yang tidak tahu, tidak menyadari atau tidak peduli ya Mak šŸ˜¦ Semoga mereka mendapatkan kehidupan selanjutnya yang lebih tenteram.

    BTW saya boleh me re-blog ngga Mak? caranya gimana ya?

    • Iya mak, perjalanan ini membuat mata saya terbuka mengenai manusia dan kemanusiaan. Kondisi real mereka tidak pernah bisa kita lihat di televisi. Kalopun diperlihatkan, sarat dengan muatan politis. Pada setiap area konflik, selalu ada jutaan real people yang menjadi korban, namun media justru lebih mengekspos pertarungan politisnya. So sad….. terus terang salah satu mimpi saya adalah bisa mengunjungi suku-suku yang terpinggirkan, baik karena konflik atau sebab lain.

      Oya Mak, kalo mau reblog, silahkan follow blog ini, pasti nanti di dashboardnya Mak Titi kelihatan posting ini. Selanjutnya disitu bisa dilihat ada opsi reblog….. Terima kasih ya Mak …..:)

  2. Mugniar says:

    Waaah Mak, keren abis ceritanya. Mak Ferdi bagusnya menulis buku travelling. Kisah2nya unik lho. Di blog ini saja sudah banyak. Ayo Mak, menulis buku, tawarin ke Gramed kayak mak Jihan, saya kira ini bisa diterbitkan.

    Sukses GAnya ya … oya ijin share di wall saya ya Mak šŸ™‚

  3. liburan yang seru dan sarat makna ya mak…

  4. irowati says:

    Sedih membaca ceritanya mak…begitu banyak suku2 dalam spt ini yg menderita, spt suku indian, suku aborijin, dan byk lg mrk menderita disiksa dan dikucilkan dinegeri mereka sdri…..semoga dunia tahu tentang derita mereka dan membantu mereka….

    • Bener banget mak, padahal mereka ini Indigenous lho. Mereka tersingkirkan dari wilayah mereka sendiri. Di negeri kita juga banyak kok mak, cerita pedih dari suku-suku terpinggirkan…. meski bukan karena perang….. šŸ™‚

  5. enci harmoni says:

    kisah perjalanan yang sangat mengaharukan mak….semoga ada penyelesaian masalah ini….sesak membaca ceritanya….

    • Iya Mak, yang saya tahu kondisi mereka tambah tidak jelas karena pemerintah Thailand meminta UNHCR secepatnya memulangkan mereka ke myanmar, sementara mereka tidak memiliki dokument apapun untuk bisa diterima kembali di Myanmar….. benar-benar menyedihkan mak

  6. perjalanan yang menyenangkan terutama saat kita menemukan sesuatu yang menjadi pelajaran mak…

  7. damae says:

    kisah Karen ini baru saya dengar meski sebelumnya pernah baca2 kisah ttg Thai itu. Karen yang keren, sangat banyak inspirasi dan makna yg bisa dipetik..

    sukses ngontesnya, mak šŸ™‚

  8. Ade Anita says:

    Tulisannya…ceritanya. .. memgenaskan banget ya padahal keberadaan mwreka dengan leher yang unik dan tenun mereka ya g halus itu terkenal banget dan mwndatangkan devisa. Ngenes. Jadi stateless gitu. Ini benar2 perjalanan yg tak terlupakan.

    • Iya Mak, memang kondisi mereka begitu mengenaskan. Setidaknya saat itu Ms. Nyunt lebih beruntung karena berada di area phuket. Jadi hasil kerajinan tangan mereka bisa didistribusikan ke tempat-tempat wisata di sekitar phuket.

  9. aku bacanya merinding….jadi inget kemarin pas SB ngobrol sama mak Indah Nuria ttg Rohingya….oia mak Ferdi kain yg digantung di belakangnya itu keren2 ya šŸ™‚

    • Iya Mak, memang begitulah kondisinya. Sayang saya belum pernah bertemu dengan suku Rohingnya, padahal ingin juga mendengar cerita mereka. Iya mak…. mereka tenun sendiri disana….:)

  10. Duh, sedih banget saya bacanya. Padahal kalau lihat dari foto2nya mereka punya kebudayaan yang cantik, ya. Sayang nasibnya seperti itu akibat ulah sebagian pihak šŸ˜¦

  11. TFS mak…maaf kemarin blm sempet komen krn dlm perjalanan.mendengar cerita langsung dari narasumber tentu mjd kenangan yg luar biasa ya mak
    oya liat hasil tenunnya mirip corak utk kain tapis lampung loh…

    • Iya Mak, memang kalo kemana-mana saya paling senang mendengar cerita dari penduduk lokal. Cerita-cerita kemanusiaan itu begitu menyentuh, hingga saya ga bisa lupa. Iya mak tenun mereka memang indah seperti tenunan Indonesia.

  12. momtraveler says:

    Hiks …sedihnya mak.. padahal keberadaan mereka jelas menambah devisa negara lho šŸ˜¦ makasih ya mak, sudah terdaftar sebagai peserta šŸ™‚

  13. Pingback: Daftar Peserta Momtraveler Giveaway | Momtraveler's Tale

  14. Selalu ada orang2 yg tersingkirkan di tanah mereka sendiri ya Fer. Di Myanmar, Amerika jaman dahulu, bahkan mungkin di Indonesia yaa… Tersingkirkan tak hanya secara harfiah seperti yg dialami oleh Suku Karen tadi, namun juga oleh berbagai kepentingan para penguasa dan kapitalis. Ayo Fer, suarakan kepada dunia, agar semua bisa mengetahui dan menarik pelajaran berharga akan pentingnya humanity in dignity

    • Iya mbak sungguh menyedihkan, banyak lho mbak suku-suku yang terpinggirkan di Indonesia, seperti suku Dayak Bajau. Padahal mereka ini luar biasa, beberapa waktu lalu sempat nonton dokumetary-nya di BBC

  15. Pingback: Pengumuman Pemenang Momtraveler Giveaway!! ^^ | Momtraveler's Tale

  16. Pakde Cholik says:

    Cakep bener ceritanya.
    Saya dua kali ke Bangkok tapi hanya seputar-putar kota saja.
    Selamat ya Jeng
    Salam hangat dari Surabaya

  17. wyuliandari says:

    Mak, ceritanya keren sekali. cerita-cerita begini ini yang sering luput dari pemberitaan media mainstream. Bukuin dong mak, biar makin banyak yg bisa membaca:)

    • Iya Mak, memang banyak sekali cerita dari suku-suku terpinggirkan seperti mereka. Saya paling senang ngobrol dengan penduduk setempat jika kemana-mana. Cerita mereka ini memang menarik. Saya cuma belum sempat menuliskannya semua.

  18. Miss Fenny says:

    Diluar sana masih banyak peradaban yang minorittas diperlakukan seperti itu ya, padahal saudara sendiri

    • Iya Mbak, sebenarnya hampir sebagian besar indigenous people seperti suku Karen ini terpinggirkan. Di Indonesia banyak sekali yang mengalami nasib serupa. Terutama suku pedalaman dayak dan suku2 di sumatra yang terpinggirkan karena rumah mereka dibuldozer dan dijadikan perkebunan sawit. InsyaAllah saya Akan menuliskan kisah mereka, karena saya punya sahabat seorang relawan asing yang baru pulang mengadvokasi suku Dayak.

  19. Pingback: Suku Tibetan Akha & The Golden Triangle – Sebuah Kidung Kemanusiaan | Ferdy Bookelmann

  20. Bikin merinding bacanya mbak, dan ternyata banyak kisah yang menyedihkan dari penghuni bumi ini yang tak tersorot kamera. Kisahnya inspiratif loh mbak, dan aku telat bacanya nih.

    Makasih udah share lagi šŸ™‚

  21. Zia Subhan says:

    Luar biasa cerita perjalanan Mba Ferdi dan keluarga, memperkaya pemahaman kehidupan peradaban manusia yang ngga terekspos. Saya juga jadi belajar dari pengalaman Mba. Sisi lain yang kita semua mungkin ngga pernah tau dan rasa. TFS ya Mba. Salut…

    Warm regards,
    Zia

Leave a reply to ferdiasbookelmann Cancel reply